Selasa, 10 Mei 2011

akad dalam gadai syari'ah

Akad Dalam Gadai Syariah
A.        Pengertian Gadai
Menurut bahasa, gadai (ar-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat[1]
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah:
a.       “Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya”[2]
b.      “Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang”[3]
c.       “Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang”

B.        Dasar Hukum Gadai (Rahn)
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (borg) adalah firman Allah Swt. berikut:
Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu” (Al-Baqarah: 283)
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. (HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari )
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a. ia berkata :”Rasulullah Saw. merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi.
Dari Hadits di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara orang Muslim dan non-Muslim dalam bidang muamalah, maka seorang Muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-Muslim.
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)  
C.        Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Secara umum syarat syah dan rukun dalam menjalankan transaksi gadai adalah sebagai berikut :
1. Rukun Gadai
-          Ada Ijab dan qabul (shigat)
-          Terdapat orang yang berakad adalah yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin)
-          Ada jaminan (marhun) berupa barang / harta
-          Utang (marhun bih)
2. Syarat Syah Gadai
a. Shigat
Shigat tidak boleh terkait dengan masa yang akan dating dan syarat tertentu. Misalnya, jika masa waktu utang telah habis dan belum terbayar, maka rahn dapat diperpanjang selama 1 bulan. Jika syarat yang dimaksud justru mendukung berjalannya akad, maka diperbolehkan. Misalnya pihak penerima gadai meminta agar proses akad diikuti 2 orang saksi.
b. Orang yang berakad.
Pihak yang berakad harus memiliki kecakapan dalam melakukan tindakan hukum, berakal sehat, sudah baligh serta mampu melaksanakan akad.
c. Barang yang dijadikan pinjaman
1.                   Harus berupa barang / harta yang nilainya seimbang dengan utang serta dapat dijual. Rasul bersabda: “Setiap barang yang diperjualbelikan boleh dijadikan barang gadai.”[4]
2.                   Dapat dimanfaatkan serta memiliki nilai
3.                   Harus spesifik dan jelas
4.                   Dimiliki oleh orang yang menggadaikan secara syah
5.                   Tidak tersebar dalam beberapa tempat dan dalam kondisi utuh
d. Utang (marhun bih)
1.                   Wajib dikembalikan kepada murtahin (yang menerima gadai)
2.                   Dapat dimanfaatkan
3.                   Jumlahnya dapat dihitung
D.        Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
1. Penerima Gadai (Murtahin) Hak :
a. Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun
b. Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan
c. Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasi Kewajiban :
a. Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka murtahin harus bertanggung jawab.
b. Tidak boleh mengguanakan marhun untuk kepentingan pribadi.
c. Sebelum diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin.
2. Pemberi Gadai (Rahin) Hak :
a. Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang ia serahkan kepada murtahin.
b. Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
c. Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun.
d. Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhun-nya kembali. Kewajiban :
a.       Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
b.      Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjalan atas marhun miliknya.
E.        Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fuqaha dan Ahmad[5]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat mengambil manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda :”Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(Riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya[6]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di sini adalah upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[7]
F.         Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tidak terkunci, lalu barang gadaian itu hilang dicuri orang. Intinya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana mestinya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun  itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.
Menurut Syafi’iyah, murtahain menanggung risiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.
G.        Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan dalam gadai maka tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab mungkin saja pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang, harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang merugikan pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.[8]
Apabila pada waktunya pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
H.        Pegadaian Syariah
Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhun bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahin, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

Lahirnya Pegadaian Syariah

Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. 

Operasionalisasi Pegadaian Syariah

Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang  ketiga aspek tersebut,  dipaparkan dalam uraian berikut.

Landasan Konsep

Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Landasan ini kemudian diperkuat  dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a.  Ketentuan Umum :
1.    Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.    Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3.    Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4.    Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.    Penjualan marhun
a.  Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.  Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c.  Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d.  Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. 
b. Ketentuan Penutup
1.  Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.  Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. 
Akad Perjanjian Transaksi Gadai
Dalam transaksi gadai terdapat 4 akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, 4 akad tersebut adalah :
1. Qard al-Hasan: Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadaian (marhun) kepada pegadaian (murtahin) Ketentuannya : - Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, elektronik, dll. - Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah: Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya :
- Barang gadai dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti : emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dll.
- Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah: Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin maupun murtahin.
4. Ijarah: Obyek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad ijarah, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 
1.      Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2.      Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3.      Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4.      Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5.      Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

I. Mekanisme Operasional Pegadaian Syariah
Teknis pelaksanaan kegiatan pegadaian syariah adalah sebagai berikut :
1. Jenis barang yang digadaikan
a. Perhiasan : emas, perak, intan, mutiara dan sejenisnya
b. Alat-alat rumah tangga, dapur, makan-minum, kebun, dan sejenisnya
c. Kendaraan seperti : sepeda ontel, motor, mobil dan sebagainya
2. Biaya-biaya
a. Biaya adminstrasi pinjaman
Untuk transaksi pinjaman ditetapkan sebesar Rp 50,- untuk setiap kelipatan pinjaman Rp 5.000,-. Biaya ini hanya dikenakan 1 kali di awal akad.
b. Jasa simpanan
Besarnya tarif ditentukan oleh :
1) Nilai taksiran barang
2) Jangka waktu ditetapkan 90 hari dengan
3) Perhitungan simpanan setiap kelipatan 5 hari. Berlaku pembulatan ke atas (1 – 4 hari dianggap 5 hari).
Ketentuan barang :
1) Perhiasan
Biayanya sebesar Rp 90,- per 10 hari. Total biaya dilakukan pembulatan Rp 100 terdekat (0 – 50 dianggap 0; > 51 – 100 dibulatkan Rp100,-)
2) Barang elektronik, alat rumah tangga
Biayanya sebesar Rp 95,- per 10 hari.
3) Kendaraan bermotor
Biayanya sebesar Rp 100,- per 10 hari.
3. Sistem cicilan atau perpanjangan
Nasabah (rahin) dapat melakukan cicilan dengan jangka waktu 4 bulan. Jika belum dapat melunasi dalam waktu tersebut, maka rahin dapat mengajukan permohonan serta menyelesaikan biayanya. Lamanya waktu perpanjangan adalah + 4 bulan. Jika nasabah masih belum dapat mengembalikan pinjamannya, maka marhun tidak dapat diambil.
4. Ketentuan pelunasan pinjaman dan pengambilan barang gadai
Gol
Besarnya Taksiran
Nilai Taksiran
Biaya Administrasi
Tarif Jasa Simpanan
Kelipatan
A
100.000 – 500.000
500.000
5000
45
10
B
510.000 – 1.000.000
> 500.000 – 1.000.000
6000
225
50
C
1.050.000 – 5.000.000
> 1.000.000 – 5.000.000
7.500
450
100
D
5.050.000 – 10.000.000
> 5.000.000 – 10.000.000
10.000
2.250
500
E
10.050.000
> 10.000.000
15.000
4.500
1.000
5. Proses pelelangan barang gadai
Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Teknisnya harus ada pemberitahuan 5 hari sebelum tanggal penjualan.
Ketentuan :
a.         Untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2% untuk pembeli
b.         Pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas
c.    Biaya penjualan sebesar 1% dari hasil penjualan, biaya pinjaman 4 bulan, sisanya dikembalikan ke nasabah (rahin)
d.         Sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1 tahun akan diserahkan ke baitul maal.
J.   Jasa dan Produk Pegadaian Syariah
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai berikut :
1.         Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai
Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik, dll. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, besarnya akan sangat tergantung oleh nilai dan jumlah barang yang digadaikan.
2.         Penaksiran Nilai Barang
Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran barang yang berupa emas, perak dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah ongkos penaksiran barang.
3.         Penitipan barang (ijarah)
Barang yang dapat dititipkan antara lain : sertifikat motor, tanah, ijazah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
4.         Gold Counter
Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai bukti kualitas dan keasliannya..
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1.    Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2.    Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
K.        Kritik dan Saran
Adapun kritik yang ingin saya sampaikan di sini adalah:
1.      Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur, yang hal ini akan menjadi bumerang bagi lembaga gadai syariah,
2.      Memerlukan metode penghitungan yang rumit, apabila digunakan bagi hasil terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian laba untuk nasabah-nasabah kecil, sedangkan juklak dan juknis masih belum sempurna,Karena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga professional yang handal, bukan hanya mengerti operasional gadai syariah, namun juga mengerti tentang `aturan` Islamnya itu sendiri, yang hal ini masih minim dimiliki oleh Pegadaian Syariah,
3.      Keterbatasan murtahin yang dapat dijadikan jaminan,
4.      Memerlukan adanya seperangkat peraturan dalam pelaksanaannya untuk pembinaan dan pengawasannya.



[1] Lihat Kifayat al-Akhyar hlm.261, lihat pula Idris Ahtllad, Fiqh al-Syafi’iyah.hlm.59
[2] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta,1984, hlm.86.87
[3] Lihat Masyfuk Zuhdi dalam Masail Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta,1988 hlm.153.
[4] Lihat Kifayatul Akhyar,hlm. 263
[5] Lihat Dr.H.Hendi Suhendi, M.Si.Fiqh Muamalah. PT Rajagrafindo Persada,Jakarta, 2007 hlm.108
[6] Lihat al-Kahlani, Subul al-Salam, hlm.51
[7] Lihat Dr.H.Hendi Suhendi, M.Si.Fiqh Muamalah. PT Rajagrafindo Persada,Jakarta, 2007 hlm.109


[8] Ibid. hlm.110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar